Anak Kuli Bangunan Lolos ke Fakultas Kedokteran
- admin
- 0
- on May 03, 2025
Setiap pagi, saat orang-orang sibuk berlalu-lalang menuju tempat kerja, seorang pemuda berkeringat dengan sekop di tangannya tampak menambal lubang-lubang di jalan kampung. Tak ada gaji, tak ada seragam, tak ada kendaraan dinas. Ia hanya punya semangat, pasir, semen, dan keinginan untuk melihat jalan kampungnya lebih baik.
Namanya Rendi Gunawan, 24 tahun, mg4d anak seorang tukang becak dari daerah pinggiran Yogyakarta. Ia bukan pejabat, bukan pegawai dinas, bukan kontraktor. Tapi ia dijuluki warga sebagai “pemuda penambal jalan” karena apa yang ia lakukan sendirian selama lebih dari dua tahun—menambal lubang jalan yang diabaikan oleh banyak pihak.
Lahir dari Kemiskinan, Dibentuk oleh Keprihatinan
Rendi lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya menarik becak sejak tahun 90-an, ibunya buruh cuci keliling. Sejak kecil, Rendi terbiasa hidup prihatin. Ia berjalan kaki ke sekolah, membantu ibunya mencuci, dan kadang ikut ayahnya mencari penumpang.
Namun sejak kecil pula, ia memiliki rasa empati yang besar. Ia sering bertanya mengapa jalan kampung mereka penuh lubang dan tak kunjung diperbaiki. “Kenapa orang-orang diam saja?” katanya suatu kali kepada sang ibu.
Setelah lulus SMA, Rendi tak bisa melanjutkan kuliah. Ia bekerja sebagai kuli bangunan dan tukang servis AC untuk membantu orang tuanya. Tapi di sela waktu, ia mulai mencatat dan memetakan jalan-jalan rusak di sekitar kampungnya.
Langkah Awal yang Mengundang Tawa
Pada suatu Minggu pagi, ia membawa gerobak kecil berisi semen, air, dan pasir. Ia mulai menambal lubang kecil di jalan dekat rumahnya. Warga yang melihat tertawa. “Ngapain capek-capek, nanti rusak lagi!” ujar seorang bapak-bapak.
Namun Rendi tak peduli. Ia percaya bahwa lebih baik memperbaiki satu lubang hari ini, daripada melihat lima orang jatuh besok. “Kalau saya bisa menghindarkan satu ibu hamil jatuh karena jalan rusak, itu sudah cukup,” ucapnya.
Ia terus bekerja diam-diam. Seminggu sekali, ia menyisihkan uang dari hasil kerja harian untuk beli bahan tambal. Ia belajar teknik campuran dari YouTube, bertanya ke tukang bangunan senior, dan mencoba terus memperbaiki kualitas hasil tambalnya.
Viral Karena Tersandung
Suatu hari, seorang pengendara motor yang hampir jatuh karena lubang jalan melihat Rendi sedang menambal. Ia berhenti, bertanya, lalu merekam dan mengunggahnya ke media sosial. “Luar biasa! Pemuda ini nambal jalan sendirian pakai duit sendiri,” tulisnya.
Video itu viral dalam semalam. Ribuan komentar, ratusan ribu likes, dan tawaran bantuan pun datang. Media datang meliput, pemerintah daerah pun mulai melirik. Namun saat diminta tampil di TV, Rendi menolak. “Saya bukan cari sorotan, saya cuma nggak tahan lihat orang jatuh,” katanya dengan polos.
Menjadi Gerakan, Bukan Sensasi
Sejak viral, Rendi mulai didatangi warga yang ingin membantu. Ia membentuk komunitas kecil bernama Lubang Kita, Tanggung Jawab Kita. Bersama anak-anak muda lain, mereka menambal jalan, membersihkan saluran air, dan memperbaiki trotoar yang rusak.
Ia mengajarkan teknik menambal jalan dengan sederhana tapi efektif. Mereka bekerja gotong royong setiap akhir pekan. Tak perlu izin ribet, tak perlu menunggu dinas, cukup semangat dan kerja nyata.
Banyak yang menyumbang bahan bangunan, helm keselamatan, bahkan motor roda tiga untuk membawa peralatan. Namun Rendi tetap membatasi bantuan. “Saya tidak mau ini jadi proyek, saya ingin ini tetap jadi gerakan hati,” ujarnya.
Menginspirasi ke Seluruh Indonesia
Gerakan Rendi menyebar ke berbagai kota. Pemuda-pemuda lain mulai melakukan hal serupa di daerah mereka. Di Makassar, komunitas “Jalan Sehat” terbentuk terinspirasi dari Rendi. Di Semarang, anak-anak STM membuat gerakan “Tambal Bareng” setelah menonton kisah Rendi di YouTube.
Dosen teknik sipil bahkan menjadikan metode tambalan Rendi sebagai studi kasus di kelas mereka. Rendi diundang ke seminar-seminar nasional, namun ia tetap tinggal di kampung dan menolak pindah ke kota.
Ia berkata, “Saya tidak bisa memperbaiki semua jalan rusak di Indonesia, tapi saya bisa mulai dari jalan di depan rumah saya.”
Mengubah Cara Pandang tentang Kepedulian
Rendi tidak hanya menambal jalan, ia juga menambal luka kolektif: rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap perubahan. Ia membuktikan bahwa perubahan tidak harus dimulai dari pejabat atau program besar. Ia membuktikan bahwa satu sekop kebaikan bisa memicu gelombang besar aksi nyata.
Ibu-ibu kini ikut gotong royong membersihkan lingkungan. Bapak-bapak menyumbang tenaga dan alat. Anak-anak diajarkan sejak kecil tentang tanggung jawab sosial.
Pemerintah daerah yang awalnya diam kini mulai memperbaiki infrastruktur yang selama ini mereka abaikan. Ketika diminta ikut proyek tambal jalan dinas, Rendi justru menolak. “Saya hanya ingin masyarakat tidak terbiasa menunggu,” katanya.
Kisah yang Mengharukan dan Mengubah Banyak Hidup
Dalam sebuah wawancara, Rendi pernah ditanya apa yang membuatnya terus bertahan, padahal ia tidak digaji, dan waktu luangnya habis untuk pekerjaan yang seharusnya dilakukan negara.
Ia menjawab pelan, “Dulu ibu saya jatuh dari sepeda karena lubang di jalan. Ia keguguran. Sejak saat itu saya berjanji, saya tidak akan diam saja melihat lubang dibiarkan.”
Air mata jurnalis yang mewawancarainya tak tertahan. Warga pun makin hormat kepadanya. Ia dijuluki “Penambal Harapan,” karena lebih dari sekadar memperbaiki jalan, ia memperbaiki cara pandang masyarakat terhadap peran kita sebagai warga negara.
Penutup: Jalan Tak Harus Mulus, Asal Ada yang Peduli
Kisah Rendi adalah cerita tentang keberanian memulai. Tentang semangat yang tumbuh dari luka. Tentang perubahan yang lahir bukan dari rapat, tapi dari sekop, keringat, dan hati yang tak tahan melihat penderitaan.
Ia adalah simbol bahwa satu orang bisa membuat perbedaan. Bahwa kita semua bisa berperan, tidak perlu menunggu, tidak perlu menyalahkan. Karena seringkali, lubang di jalan hanyalah cerminan dari lubang dalam kepedulian kita.
Dan selama masih ada Rendi-Rendi lain di negeri ini, kita percaya: masa depan Indonesia tetap punya harapan.